Panggilan
“daeng” yang banyak dikenal orang identik dengan kebudayaan
Bugis-Makassar. Padahal, di Sulawesi Selatan, panggilan “Daeng”
setidaknya digunakan pada dua kebudayaan dengan arti dan makna yang
berbeda. Pada kebudayaan Bugis-Makassar, panggilan “Daeng” memiliki arti
sebagaimana yang telah diadopsi orang banyak (baca tulisan bugishy),
namun pada kebudayaan orang Luwu/Palopo, panggilan “Daeng” memiliki
beberapa arti yang tidak bisa dikatakan sama.
Sistem demografi
di Indonesia memang tidak mengakui eksistensi suku/kebudayaan Luwu,
sehingga komunitas luas yang terdiri dari 21 kecamatan ini dikelompokkan
sebagai suku Bugis atau Toraja, padahal mereka memiliki kebudayaan dan
adat-istiadat tersendiri yang – meskipun ada kemiripan – berbeda dari
suku Bugis, lebih-lebih Toraja.
Dalam masyarakat Luwu, panggilan “Daeng” setidaknya memiliki 3 arti:
1. “Daeng” (tanpa nama gelar) sebagai panggilan hormat (honorofik) untuk kakak kandung, baik laki-laki maupun perempuan.
2. “Daeng” (tanpa nama gelar) sebagai panggilan umum yang sangat sopan
kepada orang yang lebih tua (laki-laki atau perempuan). Fungsi panggilan
“Daeng” di sini berlaku bagi semua kalangan dan stratifikasi sosial,
baik yang sudah menikah maupun yang belum.
3. “Daeng” (dengan
nama gelar) sebagai panggilan atau julukan yang diberikan kepada
seseorang yang telah menikah. Panggilan “Daeng” yang disertai nama gelar
ini tidak ditentukan sendiri tetapi diberikan oleh orang lain atau
masyarakat sekitar sesuai dengan sifat atau pembawaan seseorang. Contoh,
seseorang dijuluki “Daeng Pacidda” karena selalu cepat dalam bertindak
(pacidda = bertindak cepat). Seseorang dijuluki “Daeng Madduppa” karena
setiap prediksi/perkataannya selalu benar dan terjadi (madduppa =
terjadi). Seseorang dijuluki “Daeng Pabeta” karena selalu untung/menang
dalam kompetisi (pabeta = untung/menang).
Yang masih bertahan
sampai sekarang hanya poin (1) dan (2), sedangkan poin (3)
perlahan-lahan sudah tidak dipakai lagi oleh generasi sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar