Pada
awal abad ke-17 para pedagang yang beragama Islam datang ke Sulawesi
Selatan yang kemudian menyebarkan agama Islam. Agama ini berkembang
pesat semenjak kedatangan penyebar dan pengembang Islam dari Koto Tangah
Minangkabau, Sumatera Barat yaitu Datuk Sulaeman, Abdul Jawad Datuk Ri
Tiro, dan Abdul Makmur Datuk Ri Bandang. Ketiganya pertama kali mendarat
di Bua Luwu tahun 1603. Selanjutnya mubaliq asal Minangkabau itu
berhasil mengislamkan Raja Luwu yang bergelar Payung Luru XV La
Pattiware Daeng Parrebung, juga bergelar Sultan Muhammad Mudharuddin.
Pengislaman ini terjadi pada tahun 1603 dan bertepatan 15 Ramadhan 1013
H. Setelah raja memeluk agama Islam, maka para pembesar dan rakyat Luwu
mengikutinya. Kepesatan perkembangan agama Islam di Kerajaan
Luwu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Datu Luwu atau Payung
Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi, Sultan Abdullah Matinroe Ri Malangke
yang menggantikan ayahandanya pada awal tahun 1604.
Pada awal
pemerintahan Sultan Abdullah memindahkan Ibu kota Kerajaan Luwu dari
Patimang ke Ware Palopo. Pertimbangan perpindahan ini berdasarkan pada
teknis strategis pemerintahan dan pengembangan ajaran agama islam. Untuk
mendukung perkembangan agama Islam maka Khatib Sulaeman yang kemudian
bergelar Datuk Ri Patimang berhasil mendirikan sebuah masjid permanen
pada tahun 1604 m di tengah kota Palopo tidak jauh dari istana. Masjid
ini sampai kini masih berdiri disebut Masjid Tua Palopo.
Masjid
Tua Palopo tumbuh pada zaman madya Indonesia yang berfungsi sebagai
masjid Kerajaan atau masjid istana, maka dari itu letaknya berada di
sebelah barat alun-alun dan masjid merupakan gambaran struktur perkotaan
pada awal masa Islam di Indonesia.
Renovasi
Sejauh
ini telah dilakukan beberapa kali renovasi untuk perbaikan masjid.
Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada
1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang
didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki
seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan
kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang
ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m².
Bentuk arsitektur Masjid
Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan lokal
yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan
Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat, tidak
berubah. TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar